NahdlatulUlama (Kebangkitan Ulama atauKebangkitan Cendekiawan Islam), Ahmad Dahlan yang kemudian mendirikan organisasi ini. Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi – Mereka Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2011. Majelis Diktilitbang dan LPI PP Muhammadiyah. Karenamateri usulan yang disampaikan K.H. Abdul Wahab Chasbullah itu tidak masuk dalam agenda konggres, akhirnya, atas prakarsa kiai Wahab Chasbullah, para ulama pesantren mendirikan “Komite Hijaz” yang bertujuan menyampaikan aspirasi ulama pesantren kepada penguasa Arab Saudi. sekaligusaktif melakukan dakwah - dakwahnya untuk senantiasa menjaga Aswaja dan kesatuan negara Republik Indonesia dalam wadah NKRI. Muhammadiyahdan Nahdlatul Ulama (NU), dan beberapa nama di luar jawa, seperti Nahdlatul Wathan, Sumatera Thawali, dan sebagainya. Organisasi-organisasi sosial keagamaan Islam dan organisasi-organisasi yang didiri kaum terpelajar tersebut menanda tumbuhnya benih-benih nasionalisme dalam pengertian moden (Badri Yatim 2006:25). Beliaujuga berhasil menghimpun kekuatan ulama dan kyai dalam satu wadah Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikannya, berikut organisasi-organisasi pemuda, seperti Hizbullah dan al-Mujahidun. Kyai Asyari sendiri kemudian mendirikan pesantren Keras di Jombang. Ayah Hasyim ini berasal dari desa Tingkir, yang masih keturunan dari Abdul Wahid Denganterbentuknya organisasi ini, maka pada akhirnya terbentuklah juga sebuah organisasi besar yang mewadahi para ulama dan kalangan tradisionalis (pesantren). Tepatnya pada tanggal 31 Januari 1926 M atau 16 Rajab 1344 H, para ulama terkemuka se Jawa dan Madura berkumpul di Surabaya untuk mendirikan sebuah organisasi yang kemudian diberi s0dO. JAKARTA, - Hari ini, Selasa 7/2/2023, Nahdlatul Ulama menggelar Resepsi Hari Lahir 1 Abad. Kenduri akbar itu digelar di Stadion Gelora Delta Sidoarjo, Jawa Umum PBNU Yahya Cholil Staquf Gus Yahya, meminta agar warga Nahdliyin dan masyarakat yang ingin menghadiri Puncak Resepsi 1 Abad NU diniatkan untuk mengambil berkah. Perjalanan NU menjadi organisasi kemasyarakatan membentang dari masa kolonial Hindia Belanda. Gerakan itu dimulai dari sejumlah pesantren di Jawa Timur. Baca juga Jokowi dan Maruf Amin Kompak Hadiri Resepsi 1 Abad NU Pada 1916 , KH Wahab Chasbullah mendirikan organisasi pergerakan bernama Nahdlatul Wathon. Tujuannya adalah mempersiapkan umat Islam buat melakukan perjuangan fisik terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda. Dua tahun kemudian, berdiri 2 organisasi lain yang mempunyai tujuan membangun umat Islam. Pertama adalah Taswirul Afkar atau Nahdlatul Fikri Kebangkitan Pikiran yang fokus dalam bidang pendudukan sosial-politik kaum santri, dan Nahdlatul Tujjar atau Kebangkitan Saudagar yang bertujuan memperkuat ikatan di antara para pengusaha Muslim. Baca juga Kedatangan Presiden Jokowi di Acara Peringatan Seabad NU Disambut Hadrah dan Selawat Ulama KH Hasyim Asy'ari melihat problematika umat Islam saat itu semakin kompleks. Maka dari itu dia kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926 dengan tujuan membangun umat Islam dari segi sosial, politik, ekonomi dan berdaulat dan merdeka dari pemerintah kolonial Hindia Belanda. Karena upayanya mendirikan NU, KH Hasyim Asy'ari kemudian diberi gelar Rais Akbar. Berikut ini profil singkat 3 ulama pendiri NU. 1. KH Hasyim Asy'ari Kominfo KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama KH Hasyim Asy'ari lahir pada 14 Februari 1871 di Gedang, Jombang, Jawa Timur. Ia adalah putra ketiga dari pasangan Kiai Asy'ari dan Nyai Halimah. Setelah mengenyam pendidikan di Jawa dan Mekkah, ia kemudian mendirikan NU bersama beberapa tokoh Islam lainnya di Jawa Timur. Selain menjadi salah satu tokoh pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari juga dikenal sebagai pejuang kemerdekaan Indonesia. Perjuangannya melawan penjajahan terhadap Indonesia diterapkan melalui pendidikan dengan mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang. Baca juga 1 Abad NU Hari Ini Beragam Kegiatan Sepanjang Hari, Semua Boleh HadirTebuireng dianggapnya sebagai simbol perlawanan atas modernisasi dan industrialisasi penjajah yang memeras sumber daya rakyat. Bahkan KH Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa haram bagi rakyat Indonesia saat itu yang pergi haji dengan fasilitas dari Belanda. KH Hasyim Asy'ari merupakan ayah dari KH Wahid Hasyim yang merupakan salah satu pahlawan nasional yang merumuskan Piagam Jakarta. Selain itu, dia adalah kakek dari Presiden Republik Indonesia ke-4, KH Abdurrahman Wahid. Dia wafat pada 25 Juli 1947 dan dimakamkan di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng. Baca juga Resepsi 1 Abad NU, Panitia Sebut Belasan Ribu Banser dan Ribuan Aparat TNI-Polri Siap Amankan 2. KH Abdul Wahab Hasbullah IKPNI KH Abdul Wahab Hasbullah KH Abdul Wahab Hasbullah adalah salah satu ulama yang juga berperan dalam mendirikan NU, selain KH Hasyim Asy'ari. KH Abdul Wahab Hasbullah mendirikan media massa atau surat kabar "Soeara Nahdlatul Oelama" dan "Berita Nahdlatul Ulama". Beliau lahir di Jombang pada 31 Maret 1888 dan tumbuh menjadi seorang ulama yang memiliki pandangan modern. Baca juga Resepsi 1 Abad NU, Ruas Jalan Menuju Stadion Gelora Delta Sidoarjo Dipadati Jemaah Nahdliyin Ia adalah ulama yang memelopori kebebasan berpikir untuk kalangan umat Islam di Indonesia. Pemikiran itu ia tuangkan dengan mendirikan kelompok diskusi bernama Tashwirul Afkar di Surabaya pada 1941. Seiring berjalannya waktu, kelompok diskusi ini berkembang dan sangat populer di kalangan pemuda dan bahkan menjadi ajang komunikasi dan tukar informasi antartokoh nasional. 3. KH Bisri Syansuri Dok. NU KH Bisri Syansuri. KH Bisri Syansuri lahir di Tayu, Pati, Jawa Tengah, pada 18 September 1886 dari pasangan Syansuri dan Mariah. KH Bisri Syansuri merupakan tokoh pergerakan yang bersama KH Abdul Wahab Hasbullah mendirikan kelompok diskusi Taswirul Afkar di Surabaya. Selain itu, ia juga berperan aktif dalam musyawarah hukum islam yang sering berlangsung di lingkungan pondok pesantren hingga akhirnya membentuk NU. Baca juga GKI Sidoarjo Sediakan Tempat Istirahat dan Nobar Puncak Resepsi Satu Abad NU Di dalam NU, KH Bisri Syansuri berupaya mengembangkan rumah-rumah yatim piatu dan pelayanan kesehatan yang dirintisnya di berbagai tempat. Itulah tiga tokoh ulama yang berperan mendirikan organisasi Islam Nahdlatul Ulama NU yang sekaligus menjadi tokoh pejuang kemerdekaan Indonesia. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Tulisan ini mencoba membahas secara kritis tentang peran ulama dalam perspektif Nahdlatul Ulama NU. Kajian ini berangkat dari sebuah pemikiran bahwa NU memiliki pandangan tersendiri tentang konsep ulama, mulai dari pendefinisiannya, posisi dan peran ulama khususnya dalam konteks NU sendiri. lebih dari itu NU cenderung dipersepsikan sebagai organisasi yang identik dengan ulama, sesuai dengan namanya. Nampaknya pengidentikan tersebut bukan tanpa landasan, karena memang secara historis NU lahir dari rahim para ulama, utamanya ulama pesantren. Dengan demikian tidak mengherankan jika selanjutnya dalam AD/ART-nya NU menempatkan posisi ulama dalam puncak kepengurusan yang memiliki otoritas khusus. Selanjutnya dalam rangka menjawab permasalahan keagamaan masyarakat, NU memiliki forum yang disebut Lembaga Bahtsul Masail LBM. Secara struktural LBM merupakan lembaga otonom NU yang berada di bawah koordinasi pengurus syuriah yang nota bene terdiri dari para ulama NU baik dari kalangan pesantren maupun non pesantren. Selanjutnya bahasan dalam kajian ini focus pada beberapa hal, antara lain; pengertian kiai dan ulama dalam perspektif NU dan problematika LBM. Pada focus pertama tulisan ini menelaah secara kritis perspektif NU tentang perbedaan kiai dan ulama serta posisi masing-masing dalam masyarakat. Sementara pada focus kedua tulisan ini mengkaji secara kritis terkait dengan profil LBM, kitab mu"tabarah sebagai refrensi sah dalam forum LBM serta metode pengambilan keputusan di LBM. Untuk bahasan metode pengambilan keputusan di LBM, tulisan ini cenderung secara spesifik mengkritisi mazhab yang dipakai di LBM. Sebagai penutup, dalam tulisan ini diakhiri dengan rekomendasi untuk lebih baiknya kajian serupa yang lebih baik di masa yang akan datang. Oleh Martin Putra PerdanaMahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam Universitas Darussalam Gontor Dalam tulisan sebelumnya, penulis telah memaparkan tentang pembaharuan Organisasi Islam model Muhammadiyah. Silakan baca di tautan berikut Penulis kembali mencoba mengkaji yang juga salah satu di antara organisasi Islam yang ada di Indonesia, yakni pembaharuan pemikiran Nahdlatul Ulama NU. Sejarah Nahdlatul Ulama sebagai Organisasi Islam Nahdlatul Ulama sendiri merupakan sebuah organisasi Islam yang berdiri pada tanggal 31 Januari 1926 M 16 Rajab 1344 H di kota Surabaya. Organisasi ini sendiri terbentuk oleh para Alim Ulama dan di prakarsai oleh Hasyim Asy’ari Tebu Ireng, Abdul Wahab Hasbullah, Bisri Jombang, Riduwan Semarang, Nawawi Pasuruan, Asnawi Kudus, Hambali Kudus, K. Nakhrawi Malang, Doromuntaha Bangkalan, Alwi Abdul Aziz dan masih banyak lagi. NU sendiri diketuai oleh Hasyim Asy’ari.[1] Organisasi Islam ini sendiri terbentuk oleh para Alim Ulama dan di prakarsai oleh Hasyim Asy’ari Tebu Ireng, Abdul Wahab Hasbullah, Bisri Jombang, Riduwan Semarang, Nawawi Pasuruan, Asnawi Kudus, Hambali Kudus, K. Nakhrawi Malang, Doromuntaha Bangkalan, Alwi Abdul Aziz dan masih banyak lagi. NU sendiri diketuai oleh Hasyim Asy’ari.[1] Setelah mendirikan pondok Pesantren Tebu Ireng, KH. Hasyim Asy’ari mewarnai lembaga pendidikannya dengan pandangan dan metodologi tradisional. Ia banyak mengadopsi pendidikan Islam klasik yang lebih mengedepankan aspek-aspek normatif, tradisi belajar-mengajar, dan etika dalam belajar yang dipandangnya telah mengantarkan umat Islam kepada zaman keemasan. Dalam karyanya, Adab al-Alim wa-Al-Mutta’allim, KH. Hasyim Asy’ari terlihat banyak dipengaruhi oleh tradisi pendidikan Islam klasik dan penulis-penulis klasik seperti Imam al-Ghazali dan Al-Zarnuji.[2]Kiprah dalam Dunia Politik Peran dalam Kancah Politik Hasyim Asy’ari Hadratussyekh sendiri tidak hanya terkenal sebagai “muasas” terbentuknya ponpes Tebu Ireng dan organisasi Nahdathul Ulama. Tapi ia juga terkenal sebagai Kyai yang mampu membangun pesantrennya sekaligus memiliki andil dalam peran politik kenegaraan. Beliau lahir di Jombang pada 14 Februari 1871 dan meninggal pada 21 Juli 1994 di usianya yang menginjak 76 tahun. Kyai Hasyim tidak hanya dihormati karena keteguhan pendiriannya, tetapi beliau juga dihormati sebagai seorang patriot yang mencintai tanah airnya. Ia tanpa kenal lelah mendidik santri-santrinya menjadi ahli agama sekaligus pejuang bangsa untuk merebut kedaulatan dan kemerdekaan tumpah darahnya. Beliau bukan hanya melawan kolonialisme dalam arti militer, tetapi juga kolonialisme kultural.[3] Ide dan Gagasan NU Nahdlatul Ulama. Ide dari lahirnya NU sendiri adalah sebagai organisasi Islam yang berupaya untuk menyelamatkan paham ahlu sunnah wal jama’ah, yang sudah ada sejak zaman Nabi dari sabotase para kaum pembaharu yang berhaluan Wahabi. Dalam menerapkan prinsip dasar organisasi, Kyai Hasyim merumuskan kitab al-Qanun al-asasi li Jam’aiyati Nahhdlatul al-Ulama Prinsip Dasar NU dan kitab Risalah Ahlisunnah wal Jama’ah. Kedua kitab tersebut dirumuskanlah Khittah NU, yang dijadikan rujukan masyarakat NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.[4] Menurut Wahid Hasyim, NU merupakan suatu perhimpunan orang tua yang bergerak dengan lamban, tak terasa serta tak radikal dan revolusioner. Wahid Hasyim juga melihat Nahdathul Ulama sangat miskin kaum terpelajar. Dan sangat sulit menemukan akademisi di kalangan NU. Sebagai organisasi islam berbasis tradisional, Nahdathul Ulama terlihat terlalu disiplin dalam masalah agama dan moral. Tuntutan kepada anggotanya sepaya berdisiplin menjalankan kewajiban agama dianggap menjadi momok yang menghalangi, terutama pemuda untuk masuk Nahdathul Ulama.[5] Djohan Effendi menegaskan bahwa NU merupakan organisasi Ulama tradisional yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan pesantren, mengingat sebagian besar pendiri dan pendukungnya adalah para Kiyai-kiyai pesantren. Sejak awal berdirinya, NU sudah menempati posisi sentral dan memainkan peranan yang penting dalam kalangan masyarakat santri, terutama bagian pedesaan. Kebangkitan Kesadaran Beragama Mereka menunjukkan kemampuan membangkitkan kesadaran beragama di kalangan umat Islam dan juga memperhatikan kesadaran komitmen dalam kehidupan umat Islam.[6] salah satu wadah untuk membangun kekuatan yang lebih besar di kalangan umat Islam pada umumnya dan para alim ulama pada khususnya. Sesuai dengan namanya NU atau Kebangkitan Ulama adalah organisasi yang memfokuskan dakwahnya dalam pendidikan keagamaan dan tegaknya nilai-nilai Islam di Tanah Air Tercinta. Ulama sendiri merupakan pemimpin umat yang selalu berada di garis depan memperjuangkan hak-hak mereka dan meningkatkan wawasan keilmuan mereka. Maka dari itu timbulnya organisasi yang mewadahi ulama merupakan keniscayaan. Maka, lahirlah organisasi tersebut dengan persetujuan beberapa ulama dari berbagai daerah..[7] Pembentukan NU Kebangkitan Ulama sendiri setidaknya memiliki empat motif dalam pendiriannya. Motif yang pokok yang mendasari gerakan NU ini adalah motif keagamaan sebagai jihad fii sabilillah. Kedua adalah tanggung jawab dalam pengembangan pemikiran keagamaan yang ditandai dengan usaha pelestarian madzhab ahlussunnah wal jama’ah. Ketiga adalah dorongan untuk mengembangkan masyarakat melalui kegiatan pendidikan, sosial, dan ekonomi. Hal ini ditandai dengan terbentuknya Nahdathul Wathan, Tasywirul Afkar dan Ta’mirul Masajid. Motif yang terakhir adalah motif politik yang ditandai dengan semangat Nasionalisme serta obsesi mengenai hari depan negeri merdeka bagi umat Islam.[8] Tawaran Pembaharuan Pemikiran Nahdlatul Ulama. Baca juga Saatnya Menelaah Fiqh Maqashid dan Perubahan Sosial Dalam perjalanannya, NU juga kerap kali terjebak pada situasi temporer, terutama terkait dengan agenda politik praktis. Para tokohnya tampaknya tak ingin ketinggalan berpartisipasi dalam kancah politik praktis, dengan alasan-alasan yang pada dasarnya bersifat pragmatis. Apalagi, di kalangan tokoh NU itu muncul kesadaran tentang adanya basis massa politik yang riel yang secara kuantitatif memiliki posisi tawar kuat. Barangkali juga ada anggapan, “Daripada basis massa dimanfaatkan oleh pihak lain, lebih baik untuk kepentingan politik dan ekonomi kalangan internal NU sendiri”. Maka dari itu, tidak heran kalau perjalanan NU tidak bisa dilepaskan dengan kiprah politiknya yang sebenarnya merupakan bagian dari kepentingan segelintir elite NU sendiri.[9] Berubahnya NU sendiri dari organisasi sosial keagamaan menjadi organisasi politik ternyata memiliki dampak besar atas pola kepemimpinan politik umat Islam Indonesia yang selama ini dikuasai oleh kelompok modernis. Tuntutan politik yang tidak ringan, serta kurangnya dan dan personal membuat NU kurang memproritaskan aktivitas sosial dan dakwahnya. Hal ini juga banyak mendorong tindak korupsi di tubuh NU. [10] Tahun 1952 sampai 1976 adalah masa dimana sedang gencar-gencarnya NU berpolitik. Dalam rentan perjalanan panjangnya, pada kurun waktu inilah NU paling banyak berkecimpung dalam kegiatan politik guna mencapai tujuannya di bidang agama, sosial dan ekonomi. Dan masa ini merupakan masa yang paling menonjol dalam peran NU di kancah politik nasional.[11] Partai Politik terbesar di Indonesia Bahkan pada tahun 1952 NU merupakan salah satu partai politik terbesar di Indonesia. Wahid Hasyim merupakan orang pertama yang mempelopori kesadaran politik di kalangan para Kiyai NU. Sebagaimana terlihat pada hasil pemilu 1971 NU merupakan organisasi paling besar dan paling kuat. Dari jumlah pemungutan suara oleh partai-partai Islam dalam pemilu 1971 sebanyak 18,67% atau 64% dari suara tersebut berasal dari NU.[12] Nur Cholis Madjid mengatakan bahwa NU, “Islam yes, partai Islam no”, Mbok yo NU tetap menjadi organisasi sosial keagamaan yang kiprah utamanya menjadi perekat ukhwah Islamiyyah umat, terutama di bidang pendidikan dan sosial-ekonomi. Betul, NU kan organisasinya Ulama, sudahlah umat itu perlu ilmu pengetahuan agama dari para ulama yang selalu dinyatakan bahwa ulama adalah warisan para Nabi.[13] Fakta yang seperti itu memang sulit dihindari, akan tetapi tidak perlu resah kalau nanti makna ke-NUan semakin lama semakin pudar. Sebab, semua sumber dayanya boleh jadi terserap ke dalam pusaran politik praktis yang dimainkan oleh elite NU sendiri. Kalau dulu, setidaknya di era kepemimpinan Gus Dur yang cukup mengesankan, fraksi-fraksi di NU masih didominasi oleh gerakan kultural, aktivis kebangsaan dan intelektual, sementara faksi politik berada di pinggiran, saat ini justru faksi politiklah yang menjadi kekuatan dominan. Apabila di kedepannya NU tidak segera melakukan evaluasi secara keselurahan bukan tidak mungkin nantinya ini akan menjadi bumerang di kemudian hari.[14] Gerakan Kaum Muslim Modernis Kaum Muslim modernis yang merupakan salah satu gerakan yang tidak menyukai NU. Mereka sendiri merupakan kelompok yang berupaya untuk melakukan reformasi terhadap keimanan dengan memurnikannya dari unsur-unsur non-Islam dan menjadikannya sesuai dengan tuntutan zaman modern dengan menggunakan metode dalam bidang organisasi dan pendidikan yang berasal dari Barat. Alasan mereka tidak menyukai NU, sejak penarikan NU dari Masyumi yang didominasi kaum modernis 1952, kedua partai ini terus bersaing dalam mencari dukungan masyarakat Muslim. Tapi seiring dengan kemajuan politik NU di tahun 1950an dan bersamaan dengan kemunduran Masyumi membuat para kaum modernis semakin membenci NU. Mereka menganggap NU telah berulang kali mengkhianati Masyumi dan memperjuangkan Islam untuk kepentingan dirinya melalui aliansinya dengan partai-partai non Muslim.[15] NU sendiri sering menjadi bahan kritik para pengamat Barat dan kaum modernis. Dan apa yang sering disematkan terhadap NU ialah sebagai kaum opurtunis. Dalam pengamatannya seperti Justus Van de Kroef, ia menanggapinya dalam tulisannya tentang prilaku NU di pada pertengahan 1960 yakni NU seperti halnya yang terjadi di masa lalu secara opurtunis selalu memihak pada pihak yang menang. Gejolak dalam Internal NU Bahkan menurut Arnold Backman, NU adalah Agen bebas yang sering beraliansi dengan pemberi tawaran lebih tinggi. Para Kiyai ini, siap bekerja sama dengan kelompok manapun termasuk PKI asalkan perasaan keagamaan mereka tidak diganggu dan tuntutan finansialnya terpenuhi. Hal ini dikarenakan sikap NU yang sering berubah-ubah dan keinginan mencari keselamatan dan mempertahankan posisinya di pemerintahan.[16] Internal NU sendiri juga muncul gejolak yang tidak mudah dipadamkan. Yakni adanya perseteruan antara Abdurrahman Wahid dan Hasyim Muzhadi. Pada Muktamar ke-30 NU di Solo terjadi perpecahan yang terjadi di tubuh NU. Dimana adanya ancaman dari Abdurrahman Wahid Gus Dur untuk membuat NU tandingan, apabila Hasyim Muzhadi terpilih menjadi ketua umum Tandfiziyah PBNU periode 2004-2005. Hal ini kiranya didukung oleh para kaum nahdliyin untuk menjadikan NU tetap Khittah 1926 yang lalu. Hal ini dikarenakan NU telah dijadikan kendaraan politik oleh sebagian elite Tandfiziyah yang lima tahun belakangan dipimpin oleh Hasyim Muzhadi. Hal ini dianggap melanggar konsep kembali ke Khittah 1926. Akan tetapi Hasyim sendiri tetap eksis dalam menjalankan perlawanan terhadap kelompok yang kontra terhadap dirinya.[17] Perseteruan pun sampai pada klimaksnya ketika pada proses pencalonan capres/cawapres Gus Dur tak menghendaki Hasyim Muzhadi menjadi cawapres mendampingi Megawati. Akan tetapi Hasyim sendiri tidak menggubris himbauan tersebut. Hal ini juga tidak bisa diposisikan dari tradisi NU yang memposisikan dirinya sebagai Kiyai dan Hasyim sebagai santri. Seorang Kiyai atau mantan santri setidaknya harus tunduk dan hormat pada Kiyai senior walaupun ia juga sudah menjadi Kiyai. Apalagi notaben Gus Dur sebagai darah biru. Tetapi Hasyim menunjukkan watak sebaliknya bahkan cenderung melawan. Apalagi ia merasa sebagai pimpinan NU yang berhasil membawanya naik daun pada kurun waktu lima tahun kepemimpinannya.[18] Godaan Kekuasaan Masalah yang paling pelik yang terjadi pada tubuh NU adalah godaan kekuasaan. Apalagi pada perjalanan sejarahnya NU tidak bisa dilepaskan dari politik dan kekuasaan. Contohnya Kiyai Haji Idham Chalid selama 32 tahun kepemimpinannya 1952-1983 tidak pernah meninggalkan dunia politik selama menjadi ketua PBNU. Ia bertanggung jawab atas perkembangan organisasi ini dalam perpolitikan di Indonesia. Ia ditetapkan menjadi ketua tepat setelah NU menarik diri dari Masyumi dan mendirikan partai sendiri. Pemerintahannya pun berlanjut pada masa Orde Baru, saat itu NU dipaksa untuk bergabung dengan PPP yang baru dibentuk di tahun 1973.[19] Kekuasaan Idham Chalid sendiri berakhir setelah pada Munas Situbondo tahun 1983 Ahmad Siddiq yang tampil sebagai ulama senior memiliki peran penting dalam menetapkan arah baru NU. Yang antara lain adalah pemulihan Khittah 1926 dan deklarasi hubungan antara Pancasila dan Islam. Pada saat itu dengan dukungan para ulama senior dan dihormati ketika itu di Munas Situbondo, meminta agar Idham Cholid menanggalkan jabatannya. Dan terjadilah perang kekuasaan antara “kelompok Situbondo” pimpinan Gus Dur dan “kelompok Cipete” pimpinan Idham Chalid. Dan hasil dari Kongres NU 1984 di Situbondo menetapkan adanya pemimpin baru di tubuh NU yakni Ahmad Siddiq dan Abdurrahman Wahid. Masing-masing memegang peran sebagai ketua Syuriyah dan Tanfidziyah. Pada saat itu terjadi keputusan penting di kongres 1984, yang pertama menerima tawaran-tawaran pemerintah agar menerapkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi di Indonesia. Dan yang kedua, menarik NU dari politik formal dan menarik NU kembali ke Khittah 1926 dengan konsentrasinya pada masalah sosial-keagamaan.[20] Perangkat NU Menurut Abdurrahman Wahid, NU yang sekarang adalah NU tahun 1926 dengan perangkatnya Tandfiziyah dan Syariyah, bahkan lebih keras lagi dengan adanya sistem Mustaysar. Tetapi sekaligus bisa dikatakan NU sekarang bukan NU yang dulu. Karena di dalamnya telah berkembang dalam hal cara pandang dan pemikirannya. Tapi perubahan-perubahan ini masih dalam konteks kelembagaan semata. Karena terjadi perubahan dalam segi budaya maka berubah juga konteks masyarakatnya. Dengan begitu, tantangan yang dihadapi umat Islam secara umum adalah bagaimana mengisi Pancasila, NKRI, dan sistem ekonomi politiknya dengan wawasan Islam. Yang secara kultural bisa mengubah wawasan hidup orang banyak dengan memperhatikan konteks kelembagaan masyarakat tadi.[21] NU yang selama ini terkesan dianggap sebagai organisasi tradisional dengan basis pesantren justru memperlihatkan perkembangan dalam berpikir yang tinggi, dibandingkan dengan organisasi modern yang malah tampak diam di tempat. Kitab kuning yang telah ditulis ulama berabad-abad lalu dan dijadikan salah satu referensi utama nahdhiyin ternyata justru membuka wawasan yang membentang luas dalam melihat perubahan sosial. Pemahaman agama bergerak tidak lagi secara tekstualis, tetapi kontekstual. Tentunya ini perlu dipandang sebagai kemajuan di dalam NU. Kemajuan peradaban sendiri biasanya selalu lahir dalam suasana kebebasan pikir. [22] Penulis Martin Putra PerdanaEditor Joko Kurniawan Artikel Populer lainnya Kutipan Footnote [1] Mahmud Yunus, Sejarah…, h. 239.[2] Mahmud Yunus, Sejarah…,343.[3] Margono, “ Hasyim Asy’ari dan Nahdathul Ulama”, Media Akademika, Vol. 26, No. 3, Juli 2011, h. 344[4] Muchotob Hamzah, Pengantar Studi Ahwaja An-Nahdiliyyah, YogyakartaLkis, 2014, h. 144.[5] Seri Buku Tempo, Tokoh Islam di Awal Kemerdekaan, h. 46.[6] Djohan Effendi, Pembaruan Tanpa Membongkar Tradisi, Jakarta Kompas Media Nusantara, 2010, h. 3-4.[7] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Jakarta Kompas Media Nusantara, 2010, h. 81.[8] Nor Huda, Islam Nusantara, Jogjakarta Ar-Ruzz Media, 2013, h. 111.[9] H. Hartono Margono, “ Asy’ari…, h. 343.[10] Nor Huda, Islam…, h. 128.[11] Greg Fealy, Ijtihad Politik Ulama Sejarah NU 1952-1968, Yogyakarta LkiS Yogyakarta, 2013, h. 1.[12] Yanto Bashri dan Retni Suffathni, Sejarah Tokoh Bangsa, Yogyakarta Kelompok Penerbit Lkis, 2004, h. 372.[13] Mohamad Sobary, NU dan…, h. 37.[14] H. Hartono Margono, Asy’ari…, h. 347.[15] Ibid, h. 348.[16] Khamami Zhada dan Fawaid Syadzili, Nahdlatul Ulama Dinamika Ideologi dan Politik kenegaraan, Jakarta Buku Kompas, 2010, h. 45.[17] Ibid, h. 49.[18] Khamami Zhada dan Fawaid Syadzili, Nahdlatul Ulama…, h. 51[19] Jajat Burhanudin, Ulama dan Kekuasaan, Jakarta Mizan, 2013, h. 384.[20] Ibid, h. 387.[21] Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi Essai-essai Pesantren, Yogyakartra LKIS Yogyakarta, 2010 , h. 203.[22] A. Sunarto AS, “Paradigma Nahdathul Ulama terhadap Modernisasi”, Jurnal Sosiologi Islam, Vol. 3, No. 2, Oktober 2013, h. 57. - Nahdlatul Ulama NU tahun ini memasuki usia 100 tahun atau 1 abad apabila dihitung menurut penanggalan Hijriah. Hingga berusia 1 abad, Nahdlatul Ulama NU masih dikenal masyarakat sebagai sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia. Nahdlatul Ulama NU diketahui berdiri pada 31 Januari 1926 M atau bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H. Baca juga Sejarah Pagar Nusa, Pencak Silat Nahdlatul Ulama Sejak awal berdirinya hingga saat ini, kontribusi Nahdlatul Ulama NU dalam pembangunan juga selalu terlihat dari waktu ke waktu. Peran NU di berbagai bidang kehidupan termasuk keterlibatannya di ranah politik membuat makin dikenal dan diperhitungkan. Baca juga Latar Belakang Lahirnya Nahdlatul Ulama Jelang Hari Lahir Harlah NU yang selalu diperingati tiap 31 Januari, simak sejarah singkat berdirinya organisasi ini. Baca juga Badan-badan Otonom Nahdlatul Ulama Latar Belakang Berdirinya Nahdlatul Ulama NU Melansir laman NU Online, para ulama pesantren Ahlussunnah wal Jamaah Aswaja mendirikan jam'iyah atau organisasi NU di kediaman KH Abdul Wahab Chasbullah di Kertopaten. Sebelumnya, KH Wahab Chasbullah juga pernah telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916. Kemudian beliau juga mendirikan Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918. Kemudian pada tahun 1914 didirikanlah kelompok diskusi Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran yang juga disebut sebagai Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Pada saat mendirikan NU, para kiai juga mendiskusikan nama organisasi yang akan digunakan. Serupa dengan nama kelompok sebelumnya, tersebutlah usulan nama Nuhudlul Ulama yang berarti kebangkitan ulama. Namun, KH Mas Alwi Abdul Aziz kemudian mengusulkan nama Nahdlatul Ulama. Alasannya, konsekuensi penggunaan kata nahdlatul adalah kebangkitan yang telah terangkai sejak berabad-abad lalu. Hal ini mengingat bahwa Nahdlatul Ulama bukanlah hasil yang tiba-tiba mengingat ulama Aswaja memiliki sanad keilmuan dan perjuangan sama dengan ulama-ulama sebelumnya. Hal inilah yang kemudian membuat organisasi NU sebagai kelanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, dengan cakupan dan segmen yang lebih luas. Tokoh yang Terlibat dalam Berdirinya Nahdlatul Ulama NU Pada hari bersejarah itu beberapa tokoh terlibat dalam pendirian organisasi NU antara lain KH Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, Jawa Timur KH Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas, Jombang, Jawa Timur KH Bishri Syansuri Jombang, Jawa Timur KH Asnawi Kudus, Jawa Tengah KH Nawawi Pasuruan, Jawa Timur KH Ridwan Semarang, Jawa Tengah KH Maksum Lasem, Jawa Tengah KH Nahrawi Malang, Jawa Tengah H. Ndoro Munthaha Menantu KH Khalil Bangkalan, Madura KH Abdul Hamid Faqih Sedayu, Gresik, Jawa Timur KH Abdul Halim Leuwimunding Cirebon, Jawa Barat KH Ridwan Abdullah Jawa Timur KH Mas Alwi Jawa Timur KH Abdullah Ubaid dari Surabaya, Jawa Timur Syekh Ahmad Ghana’im Al Misri Mesir Adapun beberapa ulama lainnya yang juga hadir pada saat itu tak sempat tercatat namanya. Substansi Berdirinya Nahdlatul Ulama NU Melansir laman Gramedia, berdirinya Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan dengan dukungan ajaran Ahlus Sunnah wal Jama’ah Aswaja yang bersumber dari Al-Qur’an, Sunnah, dan Ijma keputusan ulama terdahulu. Menurut Mustofa Bisri hal memiliki tiga substansi di dalamnya, yaitu 1. Syariat Islam sesuai dengan salah satu ajaran dari empat Madzhab Hanafi, Maliki, Syafiy, Hanbali. 2. Perspektif tauhid ketuhanan mengikuti ajaran Imam Abu Hasan Almaty Ali dan Imam Abu Mansur Al Maturidi Imam Abu Qosim Al Junaidi di bidang tasawuf Proses mengintegrasikan ide-ide Sunni berkembang. Cara berpikir Sunni di bidang ketuhanan bersifat eklektik memilih pendapat yang benar. Hasan al-Bashri seorang tokoh Sunni terkemuka dalam masalah Qodariyah dan Qadariyah mengenai personel, memilih pandangan Qadariyah. Pendapat bahwa pelaku adalah kufur dan hanya keyakinannya yang masih tersisa fasiq. Apa ide yang dikembangkan oleh Hasan AL Basri Belakangan justru direduksi menjadi gagasan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Tujuan Berdirinya Nahdlatul Ulama NU Organisasi ini lantas berkembang ke sejumlah kota di Indonesia dengan berpegang pada beberapa tujuan. Melansir laman Antara, dalam AD/ART NU tercantum bahwa tujuan NU adalah untuk menjaga berlakunya ajaran Islam yang menganut paham ahlussunnah wal jamaah aswaja. Lebih lanjut, Nahdlatul Ulama NU juga bertujuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan demi kemaslahatan dan kesejahteraan umat dan demi terciptanya rahmat bagi semesta alam. Hingga 96 tahun berdirinya NU, organisasi ini telah berkembang pesat dengan jejaring anggota dan pengurus yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air. Sumber Jakarta, NU Online Ketika para kiai pesantren mendirikan organisasi muncul dua usulan nama untuk perkumpulan mereka. Kedua-duanya secara prinsip memiliki makna sama dan dari bahasa sama pula. Namun memiliki implikasi yang berbeda. Usulan pertama disampaikan KH Abdul Hamid dari Sedayu Gresik. Ia mengusulkan nama Nuhudlul Ulama. Penjelasannya bahwa para ulama mulai bersiap-siap akan bangkit melalui wadah formal dia dikomentari KH Mas Alwi bin Abdul Aziz. Menurutnya, kebangkitan bukan lagi mulai atau akan bangkit, melainkan, sudah berlangsung sejak lama dan bahkan sudah bergerak jauh sebelum mereka mendirikan organisasi. Namun kebangkitannya tidak terorganisasi secara rapi. Maka, ia mengusulkan nama nahdlatul dari kata nahdlah yang diiringi ulama. Jadi, organisasi ini bernama Nahdlatul Ulama yang artinya kebangkita para ulama. Menurut Rais Aam PBNU KH Miftahul Akhyar, dalam ilmu tata bahasa Arab, nahdlah adalah bentuk masdar marrah. Nahdlah dalam bentuk seperti itu maksudnya sekali bangkit dan berlangsung terus. Tidak sekali tumbuh, kemudian mati."Kalau nuhudl itu bisa saat itu kebangkitannya. Kalau nahdlah itu, sekali bangkit, untuk seterusnya, dan menurut ilmu nahwu kan jumlahnya, jumlah ismiyah, bukan jumlah fi’iyah. Jumlah fi’liyah itu faidahnya tajadud, bisa hidup, mati, hidup, mati, ada, tidak ada, ada, tidak ada, tapi kalau jumlah ismiyah itu istimrar, seterusnya, terus, harapannya ila yaumil qiyamah, Nahdlatul Ulama. Kiai Miftah menambahkan, setelah nahdlatul diikuti kata ulama karena kepangkatan dalam Islam setelah pangkat kenabian adalah ulama. Nabi Muhammad mengatakan al-ulama’u waratastul anbiya ulama adalah para ahli waris nabi. "Di dalam Al-Qur’an ada innama yakhsallahu min ibadihil ulama. Jadi, ulama itu suatu kepangkatan, martabat yang tertinggi setelah kenabian. Bahkan di dalam diri nabi pun ada makna ulama," jelasnya. Ia melanjutkan, ulama merupakan bentuk jamak dari kata alim yang berarti orang yang berilmu. Sementara itu di dalam ajaran Islam, ilmu mendapat kedudukan tinggi. "Semua bisa diselesaikan dengan ilmu. Semua bisa dicapai dengan ilmu. Bahkan ilmu dunia ilmu akhirat. Di Al-Qur'an disebutkan, orang-orang yang dianugerahkan ilmu itu derajatnya di atas orang yang beriman. Mukmin yang berilmu itu derajatnya melebihi mukmin biasa," tegasnya Ia menggarisbawahi, yang dimaksud ulama yang tinggi derajatnya adalah al-ulama al-amilin, orang yang alim yang mempraktikkan ilmunya. Di dalam Al-Qur'an disebutkan innama yakhsyallahu min ibadihhil ulama, yakni al-amilin."Saya kira itu penamaan yang sudah paling tepat, Nahdlatul Ulama. Bukan nuhudlul ulama," pungkasnya. Abdullah Alawi

apa motivasi para ulama pesantren mendirikan organisasi nahdlatul ulama